PEMBATAL-PEMBATAL
KEISLAMAN [1]
(Pembahasan
ini dinukil dari Silsilah Syarhil Rasaa-il lil Imaam al-Mujaddid Syaikh
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab v (hal. 209-238) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin
‘Abdillah al-Fauzan, cet. I, th. 1424 H)
Oleh
:
Al-Ustadz
Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus
Sunnah wal Jama’ah meyakini adanya perkara-perkara yang dapat membatalkan
keislaman seseorang. Berikut ini akan kami sebutkan sebagiannya:
1. Menyekutukan Allah (syirik)
Yaitu
menjadikan sekutu atau menjadikannya sebagai perantara antara dirinya dengan
Allah. Misalnya berdo’a, memohon syafa’at, bertawakkal, beristighatsah,
bernadzar, menyembelih yang ditujukan kepada selain Allah, seperti menyembelih
untuk jin atau untuk penghuni kubur, dengan keyakinan bahwa para sesembahan
selain Allah itu dapat menolak bahaya atau dapat mendatangkan manfaat. Allah
Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن
يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya...” [An-Nisaa':
48]
Dan
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ
فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا
لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
“...
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti
Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya adalah Neraka, tidaklah ada
bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.”
[Al-Maa-idah: 72]
2. Orang yang membuat perantara (bertawasul) antara dirinya dengan
Allah, yaitu dengan berdo’a, memohon syafa’at, serta bertawakkal kepada mereka
Perbuatan-perbuatan
tersebut termasuk amalan kekufuran menurut ijma’ (kesepakatan para ulama)
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُم
مِّن دُونِهِ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ
أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ
عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Katakanlah:
‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sekutu) selain Allah, maka tidaklah mereka
memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula dapat
memindahkannya.’ Yang mereka seru itu mencari sendiri jalan yang lebih dekat
menuju Rabb-nya, dan mereka mengharapkan rahmat serta takut akan adzab-Nya.
Sesungguhnya adzab Rabb-mu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.”
[Al-Israa': 56-57] (Lihat juga QS. Saba’: 22-23 dan az-Zumar: 3)
3. Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan kekafiran
mereka, atau membenarkan pendapat mereka
Yaitu
orang yang tidak mengkafirkan orang-orang kafir -baik dari Yahudi, Nasrani
maupun Majusi, orang-orang musyrik, atau orang-orang mulhid (Atheis), atau
selain itu dari berbagai macam kekufuran, atau ia meragukan kekufuran mereka,
atau ia membenarkan pendapat mereka, maka ia telah kafir.
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ
الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...” [Ali ‘Imran: 19]
(Lihat juga QS. Al-Baqarah: 217; al-Maa-idah: 54; Muhammad: 25-30)
Termasuk
juga seseorang yang memilih kepercayaan selain Islam, seperti Yahudi, Nasrani,
Majusi, Komunis, sekularisme, Masuni, Ba’ats atau keyakinan (kepercayaan)
lainnya yang jelas kufur, maka ia telah kafir.
Juga
firman-Nya:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ
دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi.”
[Ali ‘Imran: 85]
Hal
ini dikarenakan Allah Ta’ala telah mengkafirkan mereka, namun ia menyelisihi
Allah dan Rasul-Nya, ia tidak mau mengkafirkan mereka, atau meragukan kekufuran
mereka, atau ia membenarkan pendapat mereka, sedangkan kekufuran mereka itu
telah menentang Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah
Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ
هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya
orang-orang kafir, yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke
Neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk
makhluk.” [Al-Bayyinah: 6]
Yang
dimaksud Ahlul Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan kaum
musyrikin adalah orang-orang yang menyembah ilah yang lain bersama Allah.
(Lihat QS. Al-Maa-idah: 17; al-Maa-dah: 54; al-Maa-idah: 72-73; an-Nisaa': 140;
al-Baqarah: 217; Muhammad: 25-30)
4. Meyakini adanya petunjuk yang lebih sempurna dari Sunnah Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam
Orang
yang meyakini bahwa ada petunjuk lain yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau orang meyakini bahwa ada hukum lain yang lebih
baik daripada hukum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti orang-orang
yang lebih memilih hukum-hukum Thaghut daripada hukum Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam, maka ia telah kafir.
Termasuk
juga di dalamnya adalah orang-orang yang meyakini bahwa peraturan dan
undang-undang yang dibuat manusia lebih afdhal (utama) daripada sya’riat Islam,
atau orang meyakini bahwa hukum Islam tidak relevan (sesuai) lagi untuk
diterapkan di zaman sekarang ini, atau orang meyakini bahwa Islam sebagai sebab
ketertinggalan ummat. Termasuk juga orang-orang yang berpendapat bahwa
pelaksanaan hukum potong tangan bagi pencuri, atau hukum rajam bagi orang yang
(sudah menikah lalu) berzina sudah tidak sesuai lagi di zaman sekarang. Juga
orang-orang yang menghalalkan hal-hal yang telah diharamkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam berdasarkan
dalil-dalil syar’i yang telah tetap, seperti zina, riba, meminum khamr, dan
berhukum dengan selain hukum Allah atau selain itu, maka ia telah kafir
berdasarkan ijma’ para ulama. Allah Ta’ala berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah
hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [Al-Maa-idah: 50]
Allah
Ta’ala berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ
اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“...
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itulah orang-orang yang kafir.” [Al-Maa-idah: 44]
Allah
Ta’ala berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ
اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“...
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah: 45]
Allah
Ta’ala berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ
اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“...
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang fasik.” [Al-Maa-idah: 47]
5. Tidak senang dan membenci hal-hal yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, meskipun ia melaksanakannya, maka ia telah kafir
Yaitu
orang yang marah, murka, atau benci terhadap apa-apa yang dibawa oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun ia melakukannya, maka ia
telah kafir.
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا
لَّهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ
فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Dan
orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus
amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci
kepada apa yang di-turunkan Allah (Al-Qur-an), lalu Allah menghapuskan
(pahala-pahala) amal-amal mereka.” [Muhammad: 8-9]
Juga
firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَىٰ
أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى ۙ الشَّيْطَانُ سَوَّلَ
لَهُمْ وَأَمْلَىٰ لَهُمْ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا
نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ ۖ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
إِسْرَارَهُمْ فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ
وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ
وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Sesungguhnya
orang-orang yang kembali ke belakang (murtad) setelah jelas petunjuk bagi
mereka, syaithan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan
angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang
munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan
Allah (orang-orang Yahudi): ‘Kami akan mematuhimu dalam beberapa urusan,’
sedangkan Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka)
apabila Malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka dan punggung
mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang
menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan)
keridhaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.”
[Muhammad: 25-28]
6. Menghina Islam
Yaitu
orang yang mengolok-olok (menghina) Allah dan Rasul-Nya, Al-Qur-an, Agama
Islam, Malaikat atau para ulama karena ilmu yang mereka miliki. Atau menghina
salah satu syi’ar dari syi’ar-syi’ar Islam, seperti shalat, zakat, puasa, haji,
thawaf di Ka’bah, wukuf di ‘Arafah atau menghina masjid, adzan, memelihara
jenggot atau Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya, dan
syi’ar-syi’ar agama Allah pada tempat-tempat yang disucikan dalam keyakinan
Islam serta terdapat keberkahan padanya, maka dia telah kafir.
Allah
Ta’ala berfirman:
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ
إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ
كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ
إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا
مُجْرِمِينَ
“…
Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu
berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.
Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami
akan mengadzab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang
selalu berbuat dosa.” [At-Taubah: 65-66]
Dan
firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ
يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ
غَيْرِهِ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَىٰ
مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan
apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka
tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan
jika syaithan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), janganlah kamu duduk
bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).”
[Al-An’aam: 68]
7. Melakukan Sihir
Yaitu
melakukan praktek-praktek sihir, termasuk di dalamnya ash-sharfu dan al-‘athfu.
Ash-sharfu adalah perbuatan sihir yang dimaksudkan dengannya untuk
merubah keadaan seseorang dari apa yang dicintainya, seperti memalingkan
kecintaan seorang suami terhadap isterinya menjadi kebencian terhadapnya. Adapun
al-‘athfu adalah amalan sihir yang dimaksudkan untuk memacu dan
mendorong seseorang dari apa yang tidak dicintainya sehingga ia mencintainya
dengan cara-cara syaithan.
Allah
Ta’ala berfirman:
وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ
حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ
“...Sedang
keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan:
‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir...”
[Al-Baqarah: 102]
Dari
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ
وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ.
‘Sesungguhnya
jampi, jimat dan tiwalah (pelet) adalah perbuatan syirik.” (Diriwayatkan
oleh Abu Dawud (no. 3883) dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul
Jaami’ (no. 1632) dan Silsilah ash-Shohiihah (no. 331). Hadits ini juga
diriwayatkan oleh al-Hakim (IV/217), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad (I/381),
ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir (X/262), Ibnu Hibban (XIII/456) dan
al-Baihaqi (IX/350).)
8. Memberikan pertolongan kepada orang kafir dan membantu mereka
dalam rangka memerangi kaum Muslimin
Allah
Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ
بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan
Nasrani sebagai pemimpin bagimu; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian
yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin,
maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah: 51] (Lihat
QS. Ali ‘Imran: 100-101 dan QS. Mumtahanah: 13)
Juga
firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِّنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ۚ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang membuat
agamamu menjadi buah ejekan dan permainan sebagai pemimpin, (yaitu) di antara
orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu dan dari orang-orang yang kafir
(orang-orang musyrik). Dan bertawakkallah kepada Allah jika kamu benar-benar
orang yang beriman.” [Al-Maa-idah: 57]
9. Meyakini bahwa manusia bebas keluar dari syari’at Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam
Yaitu
orang yang mempunyai keyakinan bahwa sebagian manusia diberikan keleluasaan
untuk keluar dari sya’riat (ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,
sebagaimana Nabi Khidir dibolehkan keluar dari sya’riat Nabi Musa Alaihis sallam,
maka ia telah kafir. Karena seorang Nabi diutus secara khusus kepada kaumnya,
maka tidak wajib bagi seluruh menusia untuk mengikutinya. Adapun Nabi kita,
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus kepada seluruh manusia
secara kaffah (menyeluruh), maka tidak halal bagi manusia untuk menyelisihi dan
keluar dari syari’at beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah
Ta’ala berfirman:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي
رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
“Katakanlah:
‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua...’”
[Al-A’raaf: 158]
Dan
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً
لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan
Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” [Saba’: 28]
Juga
firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً
لِّلْعَالَمِينَ
“Dan
tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
[Al-Anbiyaa': 107]
Allah
Ta’ala berfirman:
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ
وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ
يُرْجَعُونَ
“Maka
apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah
berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun
terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” [Ali ‘Imran: 83]
Dan
dalam hadits disebutkan:
وَاللهِ، لَوْ أَنَّ مُوْسَى حَيًّا
لَمَا وَسِعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِيْ.
“Demi
Allah, jika seandainya Musa hidup di tengah-tengah kalian, niscaya tidak ada
keleluasaan baginya kecuali ia wajib mengikuti syari’atku.” (Dihasankan
oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa’ (VI/34, no. 1589) dan ia menyebutkan
delapan jalan dari hadits tersebut. Dan jalan ini telah disebutkan oleh Ibnu
Katsir dalam Tafsiirnya pada ayat 81 dan 82 dari surat Ali ‘Imran)
10. Berpaling dari agama Allah Ta’ala, ia tidak mempelajarinya dan
tidak beramal dengannya
Yang
dimaksud dari berpaling yang termasuk pembatal dari pembatal-pembatal keislaman
adalah berpaling dari mempelajari pokok agama yang seseorang dapat dikatakan
Muslim dengannya, meskipun ia jahil (bodoh) terhadap perkara-perkara agama yang
sifatnya terperinci. Karena ilmu terhadap agama secara terperinci terkadang
tidak ada yang sanggup melaksanakannya kecuali para ulama dan para penuntut
ilmu.
Firman
Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا
أُنذِرُوا مُعْرِضُونَ
“...
Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.”
[Al-Ahqaaf: 3]
Firman
Allah Ta’ala:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ
بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا ۚ إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ
مُنتَقِمُونَ
“Dan
siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan
ayat-ayat Rabb-nya, kemudian ia berpaling daripadanya. Sesungguhnya Kami akan
memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” [As-Sajdah: 22]
Firman
Allah Ta’ala:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ
لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
“Dan
barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam
keadaan buta.” [Thaahaa: 124]
‘Allamah
asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alusy Syaikh ketika memulai Syarah
Nawaaqidhil Islaam, beliau berkata: “Setiap Muslim harus mengetahui bahwa
membicarakan pembatal-pembatal keislaman dan hal-hal yang menyebabkan kufur dan
kesesatan termasuk dari perkara-perkara yang besar dan penting yang harus
dijalani sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Tidak boleh berbicara tentang
takfir dengan mengikuti hawa nafsu dan syahwat, karena bahayanya yang sangat
besar. Sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh dikafirkan dan dihukumi sebagai
kafir kecuali sesudah ditegakkan dalil syar’i dari Al-Qur-an dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebab jika tidak demikian orang akan
mudah mengkafirkan manusia, fulan dan fulan, dan menghukuminya dengan kafir
atau fasiq dengan mengikuti hawa nafsu dan apa yang diinginkan oleh hatinya.
Sesungguhnya yang demikian termasuk perkara yang diharamkan. Allah berfirman:
فَضْلًا مِّنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً ۚ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sebagai
karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
[Al-Hujuraat: 8]
Maka,
wajib bagi setiap Muslim untuk berhati-hati, tidak boleh melafazhkan ucapan
atau menuduh seseorang dengan kafir atau fasiq kecuali apa yang telah ada
dalilnya dari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Sesungguhnya perkara takfir (menghukumi
seseorang sebagai kafir) dan tafsiq (menghukumi seseorang sebagai fasiq) telah
banyak membuat orang tergelincir dan mengikuti pemahaman yang sesat. Sesungguhnya
ada sebagian hamba Allah yang dengan mudahnya mengkafirkan kaum Muslimin hanya
dengan suatu perbuatan dosa yang mereka lakukan atau kesalahan yang mereka
terjatuh padanya, maka pemahaman takfir ini telah membuat mereka sesat dan
keluar dari jalan yang lurus.” (at-Tabshiir bi Qawaa-idit Takfiir (hal. 42-44)
oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi).
Imam
asy-Syaukani (Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani, hidup tahun 1173-1250 H)
rahimahullah berkata: “Menghukumi seorang Muslim keluar dari agama Islam dan
masuk dalam kekufuran tidak layak dilakukan oleh seorang Muslim yang beriman
kepada Allah dan hari Akhir, melainkan dengan bukti dan keterangan yang sangat
jelas -lebih jelas daripada terangnya sinar matahari di siang hari-. Karena sesungguhnya
telah ada hadits-hadits yang shahih yang diriwayatkan dari beberapa Sahabat,
bahwa apabila seseorang berkata kepada saudaranya: ‘Wahai kafir,’ maka (ucapan
itu) akan kembali kepada salah seorang dari keduanya. Dan pada lafazh lain
dalam Shahiihul Bukhari dan Shahiih Muslim dan selain keduanya disebutkan,
‘Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan kekufuran, atau berkata musuh
Allah padahal ia tidak demikian maka akan kembali kepadanya.’ Hadits-hadits
tersebut menunjukkan tentang besarnya ancaman dan nasihat yang besar, agar kita
tidak terburu-buru dalam masalah kafir mengkafirkan.” (Sailul Jarraar
al-Mutadaffiq ‘alaa Hadaa-iqil Az-haar (IV/578)).
Pembatal-pembatal
keislaman yang disebutkan di atas adalah hukum yang bersifat umum. Maka, tidak
diperbolehkan bagi seseorang tergesa-gesa dalam menetapkan bahwa orang yang
melakukannya langsung keluar dari Islam. Sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya pengkafiran secara umum sama
dengan ancaman secara umum. Wajib bagi kita untuk berpegang kepada kemutlakan
dan keumumannya. Adapun hukum kepada orang tertentu bahwa ia kafir atau dia
masuk Neraka, maka harus diketahui dalil yang jelas atas orang tersebut, karena
dalam menghukumi seseorang harus terpenuhi dahulu syarat-syaratnya serta tidak
adanya penghalang.” (Majmuu’ Fataawaa (XII/498) oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Syarat-syarat seseorang dapat
dihukumi sebagai kafir adalah:
1.
Mengetahui (dengan jelas),
2. Dilakukan
dengan sengaja, dan
3.
Tidak ada paksaan.
Sedangkan
intifaa-ul mawaani’ (penghalang-penghalang yang menjadikan seseorang
dihukumi kafir ) yaitu kebalikan dari syarat tersebut di atas:
1.
Tidak
mengetahui,
2.
tidak
disengaja,
3.
dan (3) karena
dipaksa.
(Majmuu’
Fataawaa (XII/498), Mujmal Masaa-ilil Iimaan wal Kufr al-‘Ilmiy-yah fii
Ushuulil ‘Aqiidah as-Salafiyyah (hal. 28-35, cet. II, th. 1424 H) dan
at-Tab-shiir bi Qawaa-idit Takfiir (hal. 42-44))
[Disalin
dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A
Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
:
[1]. Pembahasan ini dinukil dari Silsilah Syarhil Rasaa-il lil
Imaam al-Mujaddid Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab v (hal. 209-238) oleh Dr.
Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, cet. I, th. 1424 H; Majmuu’ Fataawaa
wa Maqaalaat Mutanawwi’ah lisy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin
‘Abdirrahman bin Baaz v (I/130-132) dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin Sa’d
asy-Syuwai’ir, cet. I/ Darul Qasim, th. 1420 H; al-Qaulul Mufiid fii Adillatit
Tauhiid (hal. 45-53) oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bin ‘Ali al-Yamani
al-Washabi al-‘Abdali, cet. VII/ Maktabah al-Irsyad Shan’a, th. 1422 H; dan
at-Tanbiihatul Mukhtasharah Syarhil Waajibaat al-Mutahattimaat al-Ma’rifah
‘alaa Kulli Muslim wa Muslimah (hal. 63-82) oleh Ibrahim bin asy-Syaikh Shalih
bin Ahmad al-Khurasyi, cet. I/ Daar ash-Shuma’i, th. 1417 H.
0 komentar:
Posting Komentar