Senin, 10 Juli 2017

Kapan Kita Berpuasa dan Berhari Raya?

Banyak periwayatan shahih yang menjelaskan masalah ini. Beberapa di antaranya,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،قَالَ الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Dari Abu Hurairah Radhiallôhu ’anhu, bahwasanya Nabi Shallallöhu ’alaihi wa sallam bersabda, Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih.” (HR. Tirmidzi 632, sanad Hadist ini Hasan Gharib nenurut At Tirmidzi. dihasan oleh Imam An Nawawi dalam Al Majmu’, 6/283. Dan Jayyid menurut Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 1/440).
Imam At Tirmidzi berkomentar tentang hadist di atas, "Berpuasa dan berhari raya itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia (tidak dengan kelompok tersendiri/ikut kebanyakan kaum Muslimin)”. (Sunan At-Tirmidzi, 2/72)

Al Albani menjelaskan bahwa makna ini (yaitu dengan mengikuti mayoritas) dengan dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah, ketika Masruq (seorang tabi’in) menyarankan beliau untuk tidak berpuasa ‘Arafah tanggal 9 Dzulhijjah karena khawatir hari tersebut adalah tanggal 10 Dzulhijjah yang terlarang untuk berpuasa.

Lalu ‘Aisyah menjelaskan kepada Masruq bahwa yang benar adalah mengikuti Al Jama’ah. ‘Aisyah radhiyallôhu ’anha berdalil dengan hadits,
النحر يوم ينحر الناس، والفطر يوم يفطر الناس 
“An Nahr (Idul Adha) adalah hari ketika (mayoritas) orang-orang menyembelih dan Idul Fithri adalah hari ketika orang-orang ber-Idul Fithri” (Lihat Silsilah hadits Shahihah 1/444).

Perlu diketahui, bahwa istilah Al Jama’ah maknanya adalah umat Islam yang berkumpul bersama ulil amri yaitu para ulama dan umara' (penguasa/pemimpin kaum muslimin yang sah, dalam hal ini pemerintah). Hal ini juga dalam rangka mengikuti firman Allôh Ta’alā,
أطِيعُوا الله وأطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولى الأمْرِ مِنْكُمْ
“Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta pemimpin diantara kalian.” (QS. An Nisa:59).

Bagaimana Jika Pemerintah Salah dalam Penetapan Puasa/Hari Raya?

Memang ada kalanya jadi pemerintah berbuat kesalahan dalam penetapan waktu puasa, seperti kesalahan ketika melihat hilal, atau menolak persaksian yang adil atau menerima persaksian yang sebenarnya salah dan kesalahan-kesalahan lain yang mungkin terjadi.

Namun, yang dibebankan kepada kita sebagai rakyat adalah hal ini adalah sekedar ta’at dan menasehati dengan baik jika ada kesalahan. Rasūlullôh shallallöhu ’alaihi wa sallam bersabda,
اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا
“Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846).

Pemerintah Adalah Yang Paling Berhak Menetapkan Puasa/Hari Raya

Sebagaimana yang dipraktekan di jaman Nabi shallallöhu ’alaihi wa sallam. Ketika itu Beliau yang menjadi pemimpin kaum Muslimin sehingga Beliau sebagai kepala Pemerintahan Negeri Madinah. 

Orang yang melihat hilal pada jaman Nabi shallallöhu ’alaihi wa sallam tidak serta merta langsung berbuka puasa sendiri tapi memilih untuk langsung melaporkannya kepada Nabi terlebih dahulu.

Setelah mendapat laporan Nabi hallallöhu ’alaihi wa sallam yang memberi keputusan dan mengumumkannya pada khalayak. 

Dari Ibnu Umar radhiyallôhu 'anhu berkata,
تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasūlullôh shallallöhu ’alaihi wa sallam bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 2342, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud). 

Dalam riwayat lain disebutkan,
أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ
“Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi shallallöhu ’alaihi wa sallam ia bersaksi bahwa telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan.” (HR. At Tirmidzi no.1557, Abi Daud no.1157 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud).

Sehingga, dalam hal ini urut-urutan yang benar adalah :

1. Melihat hilal/ ru'yatul hilal (Hal ini bisa dilakukan dengan sengaja maupun tidak),
2. Melaporkan pada Pemerintah/Yang berwenang dalam urusan penepatan,
3. Menunggu Keputusan Pemerintah,
4. Mengikuti Hasil Keputusan (sidang) Pemerintah.
5. Khusus Bagi yang melihat hilal dan keputusan Pemerintah bertentangan dengannya, dalam beberapa pendapat dibolehkan untuk berpuasa/berbuka sendiri tapi tidak menunjukkannya kepada khalayak.

Al-‘Allaamah As-Sindi berkata,
وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة
“Dan nampak jelas bahwa makna hadits ini adalah, perkara-perkara ini (menentukan waktu puasa dan hari raya) tidak boleh ada campur tangan individu-individu dan tidak boleh bagi mereka untuk menetapkan keputusan sendiri, akan tetapi keputusannya diserahkan kepada pemimpin dan pemerintah, dan wajib bagi individu-individu untuk mengikuti keputusan pemimpin dan pemerintah.” (Haasyiatus Sindi ‘ala Ibni Majah, 1/509).

Langkah Bagus Pemerintah Indonesia

Alhamdulillāh, sesuai dengan atsar shahih di atas di negeri kita Pemerintah RI (Melalui Departemen Agama) bersama MUI dan segenap perwakilan Umat Islam (Al Jama'ah) rutin melakukan sidang Isbat untuk penetapan Puasa dan Hari Raya.

Maka, tindakkan yang sangat tidak tepat ketika malah ada menyelisihi hasil sidang Isbat, karena jelas keluar dari Al Jama'ah.

Buya Hamka rahimahullôh (salah satu Tokoh Muhammadiyah dan MUI) dengan santun mengajak kembali kepada rukyat kemudian dalam implementasinya disinergikan dengan mengikuti hasil sidang Isbat yang diputuskan Pemerintah. 

Sebagaimana yang pernah beliau katakan, 
“Setelah Prof. Dr. A. Mukti Ali naik menjadi Menteri Agama, beliau telah mengambil satu kebijaksanaan. Yaitu mendirikan sebuah Panitia tetap ahli Rukyah dan Hisab.
Yang duduk dalam Panitia tersebut ialah ahli-ahli hisab dari sekalian golongan yang memakai hisab dan golongan yang mempertahankan rukyah (semua ahli).
Supaya setiap tahun diadakan hisab dan rukyah dan dijadikan di antara keduanya sokong-menyokong (saling mendukung).”

(Sumber: http://buyahamka.org/tanya-jawab/mesti-samakah-hari-raya-dengan-di-mekkah/).

Senada dengan beliau, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta KH. Ali Musthofa Ya’qub rahimahullöh mengatakan, "Penenatapan awal Ramadhan dan Idul Fitri seharusnya menjadi domain pemerintah."

Menurut Beliau, "Negara memiliki otoritas untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Bahkan Beliau sudah mengusulkan, agar pemerintah mengambil alih penenatapan awal Ramadhan dan Idul Fitri." (VIVA.co.id).

Langkah Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia sendiri pada akhir tahun 2003 memprakarsai pertemuan ulama ulama dari banyak elemen. Sekitar 400 orang berkumpul di Hotel Indonesia.

MUI menghasilkan 3 poin terkait Ramadhan dan Idul Fitri :
1. Yang berhak menetapkan 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah untuk wilayah NKRI adalah Menteri Agama.
2. Keputusan Menag ini berlaku untuk seluruh wilayah NKRI.
3. Umat Islam wajib menaati hukum ini dalam kapasitas pemerintah sebagai Ulil Amri.

Sebagai Penutup, mari kita mengikuti keputusan berhari raya dan berpuasa bersama Al Jama'ah dan ulil amri kita. Karena, dalil yang kuat adalah mengikuti mereka dalam berhari raya.

Allöhumuwaffiq. Wallöhu ta'alā a'lam bish shawwab.

Ditulis oleh : Ummu Yasīrah Dimuraja'ah : Abu Fāhima Al Ahimzā
Desa Trangsan-Gatak Sukoharjo

0 komentar:

Posting Komentar