Jumat, 20 Mei 2016

Gelar yang Tepat Untuk Shahabat 'Ali bin Abi Thalib


Saya berkali-kali dapat Broadcast di media sosial tentang 'Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu 'anhu dengan menuliskan gelar yang salah dan berlebihan.  Beberapa contohnya, antara lain :
1.  Imam Ali AS
2. Ali bin abi thalib AS, dsb
AS dimaksudkan di sini adalah singkatan dari 'Alahi wa sallam. Panggilan atau gelar yang harusnya hanya disematkan untuk para Rasul-rasul Allah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'alaa,
وَسَلامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ
"Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul."(QS. Ash-Shaffaat:181).




Mengapa Shahabat Nabi 'Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu 'anhu tidak boleh dipanggil dengan AS?

Padahal, Beliau termasuk shahabat terbaik dan utama, di antaranya sebagai Assabiqunal Awwalun, Khalifah Ar Rasyiddin dan Ahlul Bait Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, dll.

1. Allah telah melarang panggilan khusus kepada Nabi dan Rasul disematkan kepada yang lain

Allah 'Azza wa jalla berfiman,
لَّا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُم بَعْضًا...
"Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain)..."(QS.An Nuur:63).

Panggilan ‘alahi salam (untuknya kesejahteraan/keselamatan) adalah keistimewaan yang disematkan untuk para Nabi dan Rasul Allah dari Nabi Adam ‘alahi salam hingga ‘Isa ‘Ibnu Maryam ‘alahi salam. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'alaa di atas,
وَسَلامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ
"Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul."(QS. Ash-Shaffaat:181)

Khusus dan keistimewaan untuk Rasul terakhir, Nabi kita Muhammad shallallaahu 'alaihi was sallam kita harus menyertakan shalawat dan salam ketika nama Beliau disebut, sebagaimana perintah Allah subhanahu wa ta’alaa,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

"Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." (QS. Al Ahzab:56).

Bahkan, Beliau shallallaahu 'alaihi was sallam menekankan pentingnya bershalawat sebagaimana sabdanya,
رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
Celakalah orang yang ketika namaku disebut, dia tidak bershalawat untukku.” (HR. Ahmad 7451, Turmudzi 3545, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

2. Kita dilarang berlebih-lebihan kepada orang shalih

Kita dilarang berlebih-lebihan pada orang shalih dalam memberi panggilan dan pujian, karena akan membuka pintu keburukan. Beberapa diantaranya adalah sifat taqlid buta dan yang paling parah bisa menyeret pelakunya pada kesyirikan yang nyata.

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam sebagai Nabi dan Rasul juga tidak mau dilebih-lebihkan di atas hal yang bukan haknya, karena Beliau khawatir nantinya sifat berlebihan tersebut bisa menyeret kepada kesyirikan sebagaimana yang terjadi pada kaum Nashrani. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku seperti orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji (‘Isa) putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah ‘Abdullah (hamba Allah) dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari).

Sehingga, selayaknya kita tidak perlu memanggil orang-orang shalih dengan panggilan yang berlebih-lebihan (yang tidak dituntunkan dalam Al Quran maupun Sunnah yang shahih) walaupun dia adalah seorang shahabat Nabi radhiyallaahu ‘anhu (dalam hal ini adalah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu).

Perilaku berlebihan terhadap ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu telah ditunjukkan oleh orang-orang syi’ah (rafidhah). Syaikh Shalih Al Fauzan rahimahullaah mengatakan, “Orang-orang yang berlebihan dalam mencintai Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu adalah Syi’ah Rafidhah. Mereka mengangkat derajad Ali radhiallahu ’anhu melebihi derajat kenabian. Tidak hanya itu, diantara mereka ada yang lancang mengatakan bahwa Ali adalah tuhan.” (Kitabut Tauhid, hal. 92).

3. Menempatkan Hak ‘Ali sebagaimana Haknya

Sebagaimana telah dibahas di atas ‘Ali Bin Abi Thalib adalah salah seorang shahabat yang utama. Hal tersebut terdapat dalam banyak sekali periwayatan shahih. Kita sebagai umat Islam harus menempatkan beliau sebagaimana hak dan kedudukan beliau dalam Islam, tidak boleh dilebihkan dan dikurangi.

Beberapa kelebihan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu, antara lain :

1. Salah satu As Saabiquunal Awwaluun (السَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ)
Beliau salah satu shahabat yang masuk Islam pertama. Walaupun, ada khilafiyah di antara ulama apakah ‘Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah atau Abu Bakr yang pertama masuk Islam dari golongan laki-laki (Silahkan baca Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, 1/245-262).

Sebagaimana As Saaabiquunal Awwaluun ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu merupakan shahabat yang selalu masuk dalam keutamaan karena berkontribusi dalam hampir di setiap peristiwa besar dan penting dalam perjuangan Islam, seperti : Hijrah (Beliau termasuk Muhajirin, yaitu orang-orang yang berhijrah dari Makkah ke Madinah), Perang Badr (Ahlu Badr), Orang yang berbaiat di bawah pohon (Ahlu Bai’ati Ridhwan), dll. (Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah, Syarah ‘Aqidah Thahawiyah Darul ‘Aqidah, hal. 492-494).

2. Menantu, Sepupu dan Ahli Bait Nabi Shallallaahu ‘alahi wa sallam
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anhu berkata, “ Ketika ayat dibawah ini turun,
فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَآءَنَا وَأَبْنَآءَكُمْ
Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu.” (QS. Ali Imran: 61). Maka, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, lalu Beliau bersabda,
اَللَّهُمَّ هؤلآءِ أَهْلِي
Ya Allah, mereka adalah keluargaku.” (HR. Muslim, Fadhail as-Shahabah IV/1871) .
Telah kita ketahui bahwa ‘Ali bin Abi Thalib bin ‘Abdul Munthalib radhiyallaahu ‘anhu adalah sepupu Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam dari jalan bapak beliau. ‘Ali juga merupakan suami putri Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam, Fathimah Az Zahra radhiyallaahu ‘anha.

3. Salah Seorang Khalifah Ar Rasyiddin (Khalifah yang disebutkan dalam Nubuwah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُوْنَ سَنَةً، ثُمَّ يُؤْتِي اللهُ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاء
Khilafah Nubuwah ada tiga puluh tahun, kemudian Allah akan memberikan kekuasaan-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” (HR.  Ahmad V/220-221 dihasankan oleh al-Albani rahimahullaah juga menghasankannya dalam takhrij Syarh Aqidah Thahawiyah hal. 473).

Perlu diketahui, masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu adalah dua tahun tiga bulan, kemudian masa kekhalifahan Umar radhiyallaahu anhu sepuluh tahun setengah, kemudian dilanjutkan masa kekhalifahan Utsman radhiyallaahu ‘anhu dua belas tahun, masa kekhalifahan Ali radhiyallaahu ‘anhu empat tahun sembilan bulan, dan masa kekhalifahan Hasan bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhuma enam bulan. Sehingga, masa kekhalifahan ‘Ali masih termasuk dalam kekuasaan Nubuwah sebagaimana yang dikhabarkan Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam.

4. Beliau adalah termasuk orang kepercayaan Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam
Sa’ad berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Ali radhiyallahu ‘anhu.
أنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُوْنَ مِنْ مُوْسَى ، إِلاَّ أَنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي
Engkau (‘Ali bin Abi Thalib) di hadapanku ibarat Harun di hadapan Musa, hanya saja tidak ada lagi Nabi sesudahku.” (HR. Bukhari, Fadhail as-Shahabah V/71, al-Maghazi VIII/112. Muslim, Fadhail as-Shahabah II/1870-1871).

5. Komandan di Perang Khaibar dan Orang yang dijanjikan Kemenangan atasnya
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu , ia mengatakan, “Sesungguhnya pada hari perang Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
)لأُعْطِيَنَّ هَذِهِ الرَّايَةَ غَداً رَجُلاً يَفْتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيْهِ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ، وَيُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ) قَالَ : فَبَاتَ النَّاسُ يَدُوْكُوْنَ لَيْلَتَهُمْ أَيُّهُمْ يُعْطَاهَا ؟ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّاسُ غَدَوْا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ –صلى الله عليه وسلم- كُلُّهُمْ يَرْجُو أَنْ يُعْطَاهَا، فَقَالَ : (أَيْنَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ؟) فَقِيْلَ : هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ يَشْتَكِي عَيْنَيْهِ، قَالَ : (فَأَرْسِلُوْا إِلَيْهِ) فَأُتِيَ بِهِ فَبَصَقَ فِي عَيْنَيْهِ وَدَعَا لَهُ فَبَرَأَ كَأَنْ لَمْ يَكُنْ ِبهِ وَجَعٌ، فَأَعْطَاهُ الرَّايَةَ
Sesungguhnya Aku akan memberikan bendera (komando) ini besok kepada seseorang yang melalui kedua tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Ia menyintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah serta Rasul-Nyapun menyintainya.” Sahl berkata, “Maka orang-orangpun berjaga pada malam hari itu, membicarakan siapa yang (besok) akan diberi bendera. Ketika pagi hari tiba, maka mereka bersegera menuju Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , masing-masing berharap akan diberi bendera. Maka Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Dimana Ali bin Abi Thalib?” Lalu dijawab, “Dia sedang menderita sakit kedua matanya wahai Rasulullah. Beliau bersabda, “Utuslah, jemputlah ia”. Maka didatangkanlah ‘Ali, lalu Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam meludahi kedua matanya dan mendoakannya. Maka sembuhlah seakan-akan tidak pernah ada penderitaan pada ‘Ali. Maka Nabipun memberikan bendera kepada ‘Ali.” (HR. Bukhari, al-Jihad VI/144, Fadhail as-ShahabahVII/70, al-Maghazi VII/476. Muslim , Fadhail as-Shahabah IV/1872).

6. Pembenci Beliau adalah Golongan orang-orang Munafik
Dari Zir bin Hubaisy, ia mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
وَاللهِ إِنَّ لَمِمَّا عَهِدَ إِلَيَّ النَّبِيُّ –صلي الله عليه وسلم- أَنَّهُ لاَ يُبْغِضُنِي إِلاَّ مُنَافِقٌ وَلاَ يُحِبُّنِي إِلاَّ مُؤْمِنٌ
Demi Allah, sesungguhnya diantara apa yang ditetapkan kepadaku oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, ialah bahwasanya tidak ada orang yang membenciku kecuali munafik, dan tidak ada yang menyintaiku kecuali mukmin.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad I/84)

Ahlus Sunnah menempatkan Kedudukan ‘Ali sebagaimana mestinya
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,
يَهلكُ فيَّ رجلان مُحبٌّ مُفرِط ومُبغِض مفتَر
Ada dua orang (kelompok) yang binasa karena sikap mereka terhadapku, (1) orang yang berlebihan dalam mencintaiku, (2) dan orang yang membenciku lagi berdusta (atas namaku).” (As-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad: 1240).

Selain ada kelompok yang berlebihan kepada beliau, yaitu Syi’ah terdapat kelompok yang membenci dan mengkafirkan beliau dan ahlul Bait lainnya. Mereka adalah kaum Khawarij dan Naashibi (kaum yang membenci Ahlul Bait). Baik Syi’ah maupun Khawarij maka keduanya dalam kebinasaan dan kesesatan yang nyata sampai hari ini.

Syaikh Shalih Al Fauzan rahimahullaah berkata, “Sementara, Ahlus Sunnah Wal Jamaah mereka berlepas diri dari sikap Syi’ah Rafidhah yang berlebihan dalam memuliakan Ali dan Ahlul Bait lainnya, hingga mengklaim bahwa ahlul bait adalah orang-orang yang ma’shum. Ahlus Sunnah juga berlepas diri dari sikap An-Nawashib yang menampakkan permusuhan dan mencela Ahlul Bait yang istiqamah. Mereka juga berlepas diri dari perilaku Ahlul Bid’ah dan Khurafat yang bertawassul dengan Ahlul Bait dan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan yang diibadahi selain Allah.” (Kitabut Tauhid, hal. 92).

Terakhir, dari pembahasan di atas telah jelas bahwa pemberian gelar dan pujian yang berlebih-lebihan kepada 'Ali radhiyallaahu 'anhu dikhawatirkan akan terjatuh kedalam sifat ashabiyah (fanatik) dan taqlid sebagaimana orang-orang syi'ah yang memuja beliau. Tapi, kita sebagai Muslim juga tidak boleh mengurangi hak dan kedudukan beliau, sebagaimana telah diriwayatkan dalam banyak hadist-hadist shahih.

Sebagai Ahlus Sunnah selayaknya kita memanggil beliau dengan gelar… Radhiyallaahu ‘anhu (semoga Allah meridhai Beliau) sebagaimana panggilan untuk seluruh shahabat Nabi shallallaahi ‘alahi wa salam, generasi terbaik dalam Islam, orang-orang yang yang bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alahi wa salam dan menyaksikan bagaimana wahyu dari langit turun.

Merekalah orang-orang yang diridhai oleh Allah dan mereka juga ridha kepada Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah:100).


Wallahu ta'alaa a'lam.

0 komentar:

Posting Komentar