Selasa, 02 Agustus 2011

Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab

Melihat Hilal Ramadhan

Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”[HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.]
Menurut mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.”[ HR. Abu Daud no. 2342. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.]

Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,
Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[HR. An Nasai no. 2116. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih]

Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.[Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92.]

Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab


Perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”[HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.]

Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangk​an,
“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,

“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.
Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali sedikit”.[Fathul Bari, 4/127]

Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal






Apabila pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.
Salah seorang ulama Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengataka​n, “Allah Ta’alamemerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua perkara. Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan. Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.” [ Al Hawi Al Kabir, 3/877.]

3 komentar:

  1. Bagaimana dgn perintah sholat? apakah harus dengan ru'yah juga? misalnya sholat dhuhur dilaksanakan ketika matahari sudah tegak di atas kepala. Padahal kita tidak pernah meru'yah matahari selama ini

    BalasHapus
  2. Kalau merujuk ke ru'yah, mestinya bukan hanya ramadhan dan syawal saja yang diru'yah, tetapi semua bulan hijriah, mulai Muharram sampai Dzulhijjah harus diru'yah. Tetapi selalu dipersempit pemahamannya hanya di 2 bulan tersebut. Padahal semua bulan penting, banyak peristiwa dan amalan yang berkaitan dengan tanggal di bulan - bulan yang lain.
    Hadist melihat hilal di bulan sya'ban selalu jadi acuan untuk memaksakan pendapat bahwa ru'yah hanya perlu di bulan - bulan tersebut.
    Mestinya dengan qiyas, semua bulan harus diru'yah agar umat mantap mengerjakan amalan - amalan di bulan - bulan yang lain, misalnya 10 dzulhijjah, 27 rajab, puasa muhrram

    BalasHapus
  3. @nur awaludin : adakah perintah ru'yah secara khusus dalam pelaksanaan sholat pada hadist2 yg shahih? ex: "shalatlah kamu dengan melihat matahari?" atau "mulailah salat dengan melihat mahatari?" jika memang tidak ada maka tidak perlu melakukan yang demikian, perintah ru'yah dalam hadist di atas pada hakekatnya adalah mengarahkan pada pelaksanaan ibadah tertentu saja, dalam hal ini adalah untuk memulai-mengakhiri puasa dan berkurban. tidak bisa di qiyas kan untuk ibadah lain, karena makna hadist ini khusus.

    mengenai, penggunaan ru'yah pada semua bulan hijriah, apakah ada perintah adari Rasulullah shalallahu'alaihi as-salam dalam pelaksanaannya? jika ada maka kita wajib mengikutinya, ketika tidak ada perintahnya kita tidak usah membuat agama ini menjadi sukar.

    pada prisipnya penggunaan hisab adalah boleh kerena untuk nilai kemaslahatan umat, penentuan penanggalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat dianjurkan untuk kemaslahatan, namun ketika ada perintah khusus yang shahih dalah suatu ibadah tertentu dalam urusan agama makan kita harusnya mendahulukan metode dalam perintah yang secara jelas ada di dalam dalil yang shahi tersebut. Barakallahu fii kum.

    :shakehand


    "Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[HR. An Nasai no. 2116. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih]

    BalasHapus